Perlindungan Konsumen
Pengertian Konsumen
Menurut Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen :
Pasal 1 butir 2 : “ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Menurut Hornby : “Konsumen (consumer) adalah seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa; seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu; sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang; setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”.
Pasal 1 butir 2 : “ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Menurut Hornby : “Konsumen (consumer) adalah seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa; seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu; sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang; setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”.
Asas
dan Tujuan
1.
Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan,
2.
Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan
memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya
dan melaksanakan kewajibannya secara adil,
3.
Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku
usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual,
4.
Asas
Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan
atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
5.
Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh
keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum.
Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Tujuan dari Perlindungan Konsumen
adalah
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri,
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
4.Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha,
6.Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri,
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
4.Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha,
6.Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Hak
dan Kewajiban Konsumen
Hak-hak
Konsumen
Sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Hak-hak Konsumen adalah :
Sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Hak-hak Konsumen adalah :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Kewajiban Konsumen
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
1. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik;
3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
5. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK
adalah:
1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan
dan pemeliharaan;
3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang
berlaku;
5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi
atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
diatur dalam Pasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat
dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
1. larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2. larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 –
16)
3. larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi ada
10 sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha
dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan
jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket
barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam
label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai,
tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta
keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang
dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya
kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996
tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih
spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan
yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha.
Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket
maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
Bekas: sudah pernah dipakai.
Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi)
Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Bila kita perhatikan secara seksama, ketentuan ayat (4) tidak mengatur pelanggaran ayat (3). Ternyata untuk pelanggaran ayat (3), diatur melalui peraturan yang lebih spesifik. Yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Kesehatan. Untuk kedua bidang ini berlaku adagium lex specialis derogat lege generalis. Artinya peraturan yang khusus mengalahkan peraturan yang umum.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
Bekas: sudah pernah dipakai.
Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi)
Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Bila kita perhatikan secara seksama, ketentuan ayat (4) tidak mengatur pelanggaran ayat (3). Ternyata untuk pelanggaran ayat (3), diatur melalui peraturan yang lebih spesifik. Yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Kesehatan. Untuk kedua bidang ini berlaku adagium lex specialis derogat lege generalis. Artinya peraturan yang khusus mengalahkan peraturan yang umum.
Klausula Baku
adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan
wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula Baku aturan sepihak yang dicantumkan
dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi
jual beli tidak boleh merugikan konsumen.
Klausula Baku dilarang menurut undang-undang
Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menetapkan bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila dalam pencantumannya mengadung
unsur-unsur atau pernyataan sebagai berikut :
1. Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen;
2. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen;
3. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas
barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran;
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;
6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7. Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan atau lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8. Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen
secara angsuran;
Contoh Klausula Baku yang dilarang Undang-Undang
- Formulir pembayaran tagihan bank dalam salah satu syarat yang harus dipenuhi atau disetujui oleh nasabahnya menyatakan bahwa
Ø “ Bank tidak bertanggung jawab atas kelalaian atau kealpaan,
tindakan atau keteledoran dari Bank sendiri atau pegawainya atau koresponden,
sub agen lainnya, atau pegawai mereka ;
- Kuitansi atau / faktur pembelian barang, yang menyatakan :
Ø "Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau
dikembalikan" ;
Ø "Barang tidak diambil dalam waktu 2 minggu dalam nota
penjualan kami batalkan" ;
Contoh Klausula Baku yang BATAL DEMI HUKUM
- Setiap transaksi jual beli barang dan atau jasa yang mencantumkan Klausula Baku yang tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;
- Konsumen dapat menggugat pelaku usaha yang mencantumkan Klausula Baku yang dilarang dan pelaku usaha tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana denda atau pidana penjara;
- Pencantuman Klusula Baku yang benar adalah yang tidak mengandung 8 unsur atau pernyataan yang dilarang dalam Undang-Undang, bentuk dan pencantumannya mudah terlihat dan dipahami
Tanggung
Jawab Pelaku Usaha
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
1. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan ;
2. cacat barabg timbul pada kemudian hari;
3. cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang ;
4. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen ;
5. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
1. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan ;
2. cacat barabg timbul pada kemudian hari;
3. cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang ;
4. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen ;
5. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan
Sanksi
Sanksi Perdata :
Sanksi Perdata :
Ø Ganti rugi dalam bentuk :
o Pengembalian uang atau
o Penggantian barang atau
o Perawatan kesehatan, dan/atau
o Pemberian santunan
o Pengembalian uang atau
o Penggantian barang atau
o Perawatan kesehatan, dan/atau
o Pemberian santunan
Ø Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah
tanggal transaksi.
Sanksi Administrasi : maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Administrasi : maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi
Pidana :
Kurungan :
Kurungan :
Ø Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar
rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan
Pasal 18
Ø Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus
juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
Ø Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun.
1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat,
cacat tetap atau kematian
Hukuman
tambahan , antara lain :
Ø Pengumuman keputusan Hakim
Ø Pencabuttan izin usaha;
Ø Dilarang memperdagangkan barang dan jasa ;
Ø Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa;
Ø Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
0 komentar:
Posting Komentar